Thursday, August 18, 2016

Negeri Seribu Parit (kenangan)

'Budak-budak Saka Jalan"
Negeri Seribu Parit begitu saya mengenang tempat ini. Desa Saka Jalan, Kecamatan Mandah Inderagiri Hilir Riau. Daerah ini bisa dicapai dengan beberapa pilihan penerbangan seperti Lion Air, Citilink ataupun maskapai lainnya dengan tujuan airport Hang Nadim Batam, kemudian lanjutkan perjalanan via laut selama tiga jam dengan Ferry rute Batam-Tembilahan.

Seluas mata memandang, terhampar perkebunan kelapa, di kabupaten inilah perkebunan kelapa terluas yang ada di Sumatera. Mungkin bagi yang selama ini berpikir kalau Riau hanya dikenal dengan perkebunan Kelapa Sawitnya, tapi disini perkebunan Kelapa Dalam-nya yang menjadi penggerak perekonomian masyarakat. Daerahnya khas dengan tanah gambut, hutan bakau dan ribuan parit-parit kecil untuk memudahkan petani mengangkut hasil panen kelapa mereka. 
 
Parit untuk memudahkan mengangkut hasil panen
Saya sempat tinggal di desa ini sekitar setengah tahun pada tahun 2007 silam untuk urusan pekerjaan.
Saat pertama saya menginjakkan kaki di desa ini saya merasa sangat senang, dalam hati berkata 'disinikah saya akan bekerja? Tidak!, tapi disini saya akan liburan. Libur panjang', begitu indahnya pemandangan alam yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Di depan rumah tempat tinggal saya merupakan jalan raya laut. Setiap saat akan lewat sampan nelayan, kapal kayu dari berbagai ukuran yang mengangkut kelapa untuk dibawa ke pabrik ataupun yang akan di eksport ke Malaysia, dan satu kali sehari akan lewat ferry tujuan Tembilahan-Batam dan sebaliknya.
Hasil panen yang berlimpah
Masyarakatnya sangat welcome dengan pendatang, sebab disini juga sudah berbaur antara tiga suku Melayu, Banjar dan Bugis. Sayangnya daerah yang sangat kaya dengan hasil perkebunan dan sumber laut ini tidak sebanding dengan keadaan penduduknya. Di Saka Jalan ini belum tersentuh penerangan dari PLN. Masyarakat yang cukup mampu hanya menggunakan mesin genset untuk penerangan dari senja sampai sekitar jam sebelas malam. Larut malam kembali mereka hanya ditemani lampu minyak tanah. Tingkat pendidikanpun masih sangat rendah, bahkan masih ada yang buta huruf. Untuk urusan komunikasi saat itu sangat susah. Pernah lihat iklan salah satu profider handphone yang mesti memanjat pohon untuk bisa dapat sinyal? nah...saya harus memanjat pohon kelapa dulu untuk cari sinyal, hehe...

Suatu hari saya berbelanja keperluan kantor ke daerah Guntung, dua jam naik kapal kayu pompong. Kerna dari Guntung berangkat senja, saat diperjalanan sudah gelap gulita. Hanya satu-dua cahaya lampu dari kejauhan yang terlihat, bisa saja cahaya dari rumah penduduk di pinggir sungai ataupun cahaya dari kapal lainnya. 
Tiba-tiba saya melihat cahaya yang sangat gemerlapan dikejauhan, semakin kapal mendekat kesumber cahaya semakin indah terlihat, rupanya cahaya itu dari pohon-pohon di pinggir sungai. Subhanallah!!! saya takjub sekali, Inilah kali pertama dalam hidup saya menyaksikan kunang-kunang dalam jumlah yang sangat banyak mengalahkan keindahan lampu kelap-kelip, ya ini lampu kelap-kelip alam. Ribuan kunang-kunang itu menghiasi Pohon-pohon Sonneratia alba atau masyarakat disini mengenalnya dengan Pohon Pidada. 
Andai saja pada masa itu Owl City sudah menciptakan lagu Firefly, sudah pasti dari mulut saya keluar alunan 'You would not believe your eyes if ten million fireflies lit up the world as i fell asleep......'
Kapal Pompong pembawa kelapa
Dilain hari saya melihat anak-anak yang berenang di laut memakan buah Pidada ini, tertarik untuk mencoba saya cicipi buah ini rasanya hampir mirip dengan jambu biji. Ada rasa asam, manis dan sepat.
Disiang hari yang panas petik saja kelapa muda sesuka hati untuk pengilang dahaga, dan ketika perut mulai lapar saya akan duduk di dermaga untuk menunggu nelayan dengan hasil tangkapannya. Ikan, udang, kerang, kepiting dengan harga murah dan masih segar selalu menjadi menu makanan hari-hari saya disini. Alangkah berbahagianya penikmat seafood ini. 

Hanya air minum warna bening menjadi barang langka disini, sebab air tanahnya sewarna dengan air teh pekat, pengaruh tanah gambut. Air terasa sepat dikerongkongan, tapi lambat laun rasa itu jadi seperti teh manis saja. Dan kata orang siapa yang sudah meminum air gambut ini, pasti akan merindukan untuk kembali lagi kesitu. Demikan yang saya rasakan waktu menulis ini, sambil membuka www.airpaz.com mencari tiket pesawat untuk bisa kembali ke Negeri Seribu Parit-Seribu Kenangan.

8 comments: