Monday, August 22, 2016

Dadiah, Yogurt ala Minangkabau

Ampiang dadiah
Kalau saya bilang kata 'Rendang' pasti semua sepakat menobatkannya sebagai salah satu makanan terlezat yang berasal dari Ranah Minang, bahkan duniapun mengamininya. Rumah makan Padang selalu menjadi incaran pecinta kuliner di seluruh Nusantara.
Tapi kalau saya bicara tentang enaknya Emping Dadih (bahasa Minang: Ampiang Dadiah) seberapa banyak diantara kita yang mengenal makanan ini? 
Kata Dadih sudah didefinisikan 'Oppa Wiki'
Dadih (bahasa Minangkabau: dadiah) adalah yogurt tradisional khas Minangkabau yang terbuat dari susu kerbau (Bubalus bubalis). Dari segi bahasa, kata "dadiah" memiliki kemiripan dengan dudh, bahasa dari etnis Sindhi (India dan Pakistan).
Sedangkan empingnya dibuat dari beras ketan yang disangrai kemudian ditumbuk saat masih panas sehingga menjadi pipih.

Sebelum emping di sawah dan dadih di susu kerbau bersatu di mangkok, saya berkesempatan ikut secara langsung melihat proses pembuatan dadiah.

Dua hari sebelumnya saya sudah janjian dengan Si bapak yang akan memperlihatkan pada saya proses membuat dadiah. Minggu pagi dalam dinginnya udara Bukittinggi, saya sudah siap menuju sawah tempat kerbau yang akan diambil susunya untuk dijadikan dadiah. Guna merangsang air susu induk kerbau, disusukanlah anaknya sebentar. Ketika si anak enak-enaknya menyusu, dia dijauhkan dari induknya, kata Si bapak, anak kerbaunya disusukan lagi nanti siang sepuas yang dia mau. Kemudian bapak itu bersiap dan mulai memerah. 
Proses pemerahan susu kerbau
Susu hasil perahan pagi ini cukup banyak, sekitar 2 liter, yang langsung akan dijadikan dadiah. Susu disaring dari kotoran, kemudian dimasukkan ke dalam gelas takar sebelum akhirnya dituangkan dalam tabung bambu yang sudah dipotong-potong sepanjang 15cm. Tutup tabung bambu dengan plastik transparan, dan simpan selama 2 sampai 3 hari. Apakah air susu itu ditambahkan bakteri baik seperti pada pembuatan yogurt? Tidak. Berdasarkan penelitian, bagian dalam dari tabung bambu itulah yang mengandung bakteri asam laktat yang akan menggumpalkan air susu kerbau menjadi padatan, artinya fermentasi dadiah berhasil.
Dadiah dalam tabung bambu


Bagaimana cara menikmati dadiah?
Siangnya saya jalan-jalan cari makan di Pasa Ateh (Pasar Atas Bukittinggi) mencari Ampiang Dadiah yang menjadi makanan khas urang awak (Orang Minang) itu.

Hanya ada beberapa tempat makan yang menjual, seperti Rumah Makan Simpang Raya yang tepat berdepanan dengan Jam Gadang, kemudian tempat makan Haji Minah dekat Jenjang 40, tapi saya memilih untuk mencicipi Ampiang Dadiah yang ada di tengah Pasar Atas, sekalian memesan Sate Padang untuk menu makan siang.

Emping bertabur parutan kelapa,
Dadiah,
Parutan es,
kemudian diatasnya disiram dengan karamel gula merah.
Rasanya? Onde mande...Lamak bana!

Dadiah yang akan dimakan dengan nasi
Masih merasa kurang puas makan dadiah, sayapun membeli 2 tabung lagi. Ketika saya bercerita dengan Nenek yang menjual dadiah, beliau menyarankan saya cara lain menikmati dadiah ala urang saisuak (orang tua zaman dulu).
Siapkan dadiah, beri irisan bawang merah, cabe merah dan daun sirih kemudian tambahkan sejumput garam. Dadiah siap dimakan dengan nasi.
"Lebih enak lagi kalau ada samba lado, terung rebus dan ikan asin, makan dengan dadiah", kata nenek penjual dadiah. Sayapun mengikuti petunjuk beliau. Ternyata rasanya sungguh menggoda selera.

Pemburu kuliner nusantara saya sarankan bersegeralah mengajukan cuti tahunan sebelum terlambat. Ambil travel bag dan packing seperlunya untuk liburan mengendurkan syaraf otak, menegangkan syaraf perut :)  
Booking tiket pesawat di website airpaz.com, untuk membandingkan harga dari berbagai maskapai penerbangan yang akan mendaratkan kamu di Bandara Internasional Minangkabau seperti Garuda Indonesia, Air Asia, Lion Air, Citilink, Sriwijaya Air dan lainnya.  Kemudian langsung saja menuju Kota Bukittinggi, The Dreamland of Sumatera yang berjarak sekitar 74 Km dari bandara. Selamat liburan, selamat makan-makan, selamat menimbun lemak! *_^


Thursday, August 18, 2016

Negeri Seribu Parit (kenangan)

'Budak-budak Saka Jalan"
Negeri Seribu Parit begitu saya mengenang tempat ini. Desa Saka Jalan, Kecamatan Mandah Inderagiri Hilir Riau. Daerah ini bisa dicapai dengan beberapa pilihan penerbangan seperti Lion Air, Citilink ataupun maskapai lainnya dengan tujuan airport Hang Nadim Batam, kemudian lanjutkan perjalanan via laut selama tiga jam dengan Ferry rute Batam-Tembilahan.

Seluas mata memandang, terhampar perkebunan kelapa, di kabupaten inilah perkebunan kelapa terluas yang ada di Sumatera. Mungkin bagi yang selama ini berpikir kalau Riau hanya dikenal dengan perkebunan Kelapa Sawitnya, tapi disini perkebunan Kelapa Dalam-nya yang menjadi penggerak perekonomian masyarakat. Daerahnya khas dengan tanah gambut, hutan bakau dan ribuan parit-parit kecil untuk memudahkan petani mengangkut hasil panen kelapa mereka. 
 
Parit untuk memudahkan mengangkut hasil panen
Saya sempat tinggal di desa ini sekitar setengah tahun pada tahun 2007 silam untuk urusan pekerjaan.
Saat pertama saya menginjakkan kaki di desa ini saya merasa sangat senang, dalam hati berkata 'disinikah saya akan bekerja? Tidak!, tapi disini saya akan liburan. Libur panjang', begitu indahnya pemandangan alam yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Di depan rumah tempat tinggal saya merupakan jalan raya laut. Setiap saat akan lewat sampan nelayan, kapal kayu dari berbagai ukuran yang mengangkut kelapa untuk dibawa ke pabrik ataupun yang akan di eksport ke Malaysia, dan satu kali sehari akan lewat ferry tujuan Tembilahan-Batam dan sebaliknya.
Hasil panen yang berlimpah
Masyarakatnya sangat welcome dengan pendatang, sebab disini juga sudah berbaur antara tiga suku Melayu, Banjar dan Bugis. Sayangnya daerah yang sangat kaya dengan hasil perkebunan dan sumber laut ini tidak sebanding dengan keadaan penduduknya. Di Saka Jalan ini belum tersentuh penerangan dari PLN. Masyarakat yang cukup mampu hanya menggunakan mesin genset untuk penerangan dari senja sampai sekitar jam sebelas malam. Larut malam kembali mereka hanya ditemani lampu minyak tanah. Tingkat pendidikanpun masih sangat rendah, bahkan masih ada yang buta huruf. Untuk urusan komunikasi saat itu sangat susah. Pernah lihat iklan salah satu profider handphone yang mesti memanjat pohon untuk bisa dapat sinyal? nah...saya harus memanjat pohon kelapa dulu untuk cari sinyal, hehe...

Suatu hari saya berbelanja keperluan kantor ke daerah Guntung, dua jam naik kapal kayu pompong. Kerna dari Guntung berangkat senja, saat diperjalanan sudah gelap gulita. Hanya satu-dua cahaya lampu dari kejauhan yang terlihat, bisa saja cahaya dari rumah penduduk di pinggir sungai ataupun cahaya dari kapal lainnya. 
Tiba-tiba saya melihat cahaya yang sangat gemerlapan dikejauhan, semakin kapal mendekat kesumber cahaya semakin indah terlihat, rupanya cahaya itu dari pohon-pohon di pinggir sungai. Subhanallah!!! saya takjub sekali, Inilah kali pertama dalam hidup saya menyaksikan kunang-kunang dalam jumlah yang sangat banyak mengalahkan keindahan lampu kelap-kelip, ya ini lampu kelap-kelip alam. Ribuan kunang-kunang itu menghiasi Pohon-pohon Sonneratia alba atau masyarakat disini mengenalnya dengan Pohon Pidada. 
Andai saja pada masa itu Owl City sudah menciptakan lagu Firefly, sudah pasti dari mulut saya keluar alunan 'You would not believe your eyes if ten million fireflies lit up the world as i fell asleep......'
Kapal Pompong pembawa kelapa
Dilain hari saya melihat anak-anak yang berenang di laut memakan buah Pidada ini, tertarik untuk mencoba saya cicipi buah ini rasanya hampir mirip dengan jambu biji. Ada rasa asam, manis dan sepat.
Disiang hari yang panas petik saja kelapa muda sesuka hati untuk pengilang dahaga, dan ketika perut mulai lapar saya akan duduk di dermaga untuk menunggu nelayan dengan hasil tangkapannya. Ikan, udang, kerang, kepiting dengan harga murah dan masih segar selalu menjadi menu makanan hari-hari saya disini. Alangkah berbahagianya penikmat seafood ini. 

Hanya air minum warna bening menjadi barang langka disini, sebab air tanahnya sewarna dengan air teh pekat, pengaruh tanah gambut. Air terasa sepat dikerongkongan, tapi lambat laun rasa itu jadi seperti teh manis saja. Dan kata orang siapa yang sudah meminum air gambut ini, pasti akan merindukan untuk kembali lagi kesitu. Demikan yang saya rasakan waktu menulis ini, sambil membuka www.airpaz.com mencari tiket pesawat untuk bisa kembali ke Negeri Seribu Parit-Seribu Kenangan.