Hampir setahun saya melupakan bau
khas udara di tepian pantai. Panas pasir yang terbakar matahari, anyir ikan
hasil tangkapan nelayan, dan udara yang ikut ‘terasa asin’ kerna penguapan air
laut. Hari ini saya kembali menghirup bau khas itu, sungguh membangunkan
saraf-saraf indra saya yang hampir mati kerna terakhir saya liburan di pantai
adalah November tahun lalu di Pantai
Cherating, Pahang Malaysia.
Cingkuak Island |
Trip hari ini sederhana tapi luar biasa. Biasanya saya lebih akrab dengan pantai-pantai yang ada di negeri seberang, tapi sekarang saatnya saya mengeksplorasi negeri sendiri. Rasa menyesal dan malu sekali kerna saya betul-betul tidak tahu kalau di pantai barat Sumatera Barat itu banyak pantai yang luar biasa.
Dulu waktu masih kecil saya hanya
dibawa liburan ke Pantai Muaro Padang. Saya pikir hanya ini pantai yang
dimiliki Sumatera Barat. Pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera
Indonesia yang bergelombang tinggi, dan pasir pantainya tidak cukup menarik
hati saya. Aktivitas disini hanyalah memandangi ombak yang bergulung sambil
makan jagung bakar, argh membosankan. Selebihnya memori otak saya dipenuhi
dengan keindahan pantai-pantai yang ada di Batam dan Negara tetangga.
Pagi ini bersepakatlah saya and the gang memulai perjalanan dari
Kota Padang ke arah selatan yaitu Ranah Pasisia (Pesisir Selatan). Sekitar dua
jam perjalanan sampailah di Pantai Carocok, dan langsung menyeberang ke Pulau
Cingkuak yang nampak di depan mata.
Air laut biru toska, pantai pasir
putih, tebing karang yang kokoh melukis keindahan alam selama berberapa jam
kami disini. Tidak akan mati gaya selama di pulau ini, kerna tiap weekend penduduk setempat menyewakan banana boat dan
jet ski ataupun anda yang ingin mengelilingi pulau dengan speed boat cukup dengan membayar
Rp.15.000 per orang, harga yang sama untuk banana boat. Sedangkan untuk jet ski
di charge Rp. 100.000 per 10 menit.
Berkeliling Pulau Cingkuak |
Sayangnya disini tidak ada
bungalow, homestay, chalet atau sejenisnya. Saya dengar-dengar masih ada
sengekta kepemilikan lahan dan pengelolaan area. Menurut pendapat saya ini
harus menjadi perhatian khusus Dinas Pariwisata setempat untuk mengelola, tidak
hanya sekadar memungut retribusi tiga ribu rupiah per pengunjung saat akan menyeberang dari Pantai Carocok ke Pulau
Cingkuak, sementara pantai masih kotor dengan sampah pengunjung dan tidak
satupun tong sampah milik pemerintah ‘dipajang’ disini. Toilet umum pun masih
kurang memuaskan pengunjung cerewet seperti saya.
Saya bermimpi bisa membeli tanah
disini dan membangun chalet, dan melengkapi fasilitas umum lainnya kemudian
berpromosi tentang tempat ini di cyber. Jangan sampai pantai ini suatu saat
dibeli Bule lagi dan dijadikan private island seperti Pulau Cubadak. Kemudian juga
ingin membuka toko souvenir yang menjual semua pernak pernik khas Pulau
Cingkuak, memalukan sekali rasanya saat saya melihat satu gerai yang menjual
baju pantai disini betuliskan I LOVE BALI. Tidak ketinggalan untuk membuat
paket ‘Pancing Mania’ dengan kapal milik saya dan setiap hasil tangkapan bisa
dengan bebas mereka masak di kedai makan saya tidak perlu dipungut biaya, cukup
men-charge sewa kapal dan perlengkapan pancing saja.
The Bridge of Roots |
Stop bermimpi nova! Mari lanjutkan
perjalanan ke Jembatan Akar (Jambatan Aka), yang masih berada di Ranah Pesisir
ini. Sambil ‘berakal’ (Bar'aka' = bahasa minang) untuk mewujudkan mimpi itu.
No comments:
Post a Comment